Perjalanan Seru Tanpa Drama ke Dieng-Prau

Lama enggak nulis, akhirnya sekarang aku balik lagi. Sebetulnya aku juga belum tahu, sih, blog ini mau dibikin kaya gimana. Kepenginnya,...




Lama enggak nulis, akhirnya sekarang aku balik lagi. Sebetulnya aku juga belum tahu, sih, blog ini mau dibikin kaya gimana. Kepenginnya, sih, jadi travel blog, tapi, kok, kayaknya, aku cukup jarang jalan-jalan. Kalau pun jalan-jalan, lupa nulisnya -,-a. Malah sebetulnya aku lebih banyak nonton film daripada jalan-jalan. Tapi, sekali lagi, karena review film itu kerjaan, jadinya enggak ditulis ulang di blog juga. Tapi, mungkin bisa juga aku tulis lagi dengan gaya yang berbeda, yang enggak cuma review, tapi juga ikutan spoiler :p.

Yah, terlepas dari itu semua, yang jelas sekarang aku mau nulis tentang jalan-jalanku kemarin. Tanggal 26—28 Agustus 2016 kemarin aku ikut private trip ke Dieng—Prau. Ini sebetulnya acara jalan-jalan temenku yang anak Kumon pusat bareng teman-teman kantornya. Tapi, karena masih ada kursi kosong, akhirnya aku ikutan juga bareng temanku. Total ada 10 orang yang ikut trip ini. Trip kali ini dipersembahkan oleh Omah Trip: Enjoy Trip With Us, Feel’s Like Your Home.

Karena ini private trip, jadi sebetulnya kami agak santai. Yang jelas, jangan harap kalian nemuin cerita penuh drrama kayak film naik gunung itu. Ini enggak ada dramanya, tapi tetep seru.

Meeting point di Kantor Kumon, kami berangkat sekitar pukul 21.00 melewati Tol Cipali. Kami sampai di Dieng pagi keesokan harinya pukul 07.00. Begitu sampai, kami langsung sarapan di salah satu rumah makan di area parkitr mobil. Ada rumah makan yang menyediakan soto, mie rebus, nasi goreng, nasi rames, dan lauk-pauk a la warteg.

Di Dieng, kita bisa menumpang ke kamar mandi di setiap rumah makan, selama kita makan di situ. Tapi, di tempat parkirnya juga sebetulnya ada kamar mandi dan toilet umum dengan tarif standar, Rp2.000 untuk buang air kecil sampai Rp5.000 untuk mandi. Kalau di rumah makan, sih, enggak ada tarifnya alias gratis! Tapi, harus sabar mengantre karena yang pakai kamar mandi kami bersepuluh. Aku sempat cuci muka dan sikat gigi pagi itu, dan kaget banget karena airnya sedingin es! Brrrr!

(Selesai sarapan, baru sampai Dieng - foto Omah Trip)

Setelah sarapan, kami langsung berangkat menuju ke Telaga Warna. Sebenarnya, di Dieng tersedia pilihan wisata Telaga Warna dan candi. Kelompok trip kami memilih Telaga Warna yang lokasinya lebih jauh, hitung-hitung pemanasan sebelum mendaki Gunung Prau. Dan memang lumayan banget perjalanan ke bukit untuk melihat Telaga Warna. Lumayan pegal, sih, tapi itu mungkin karena aku kurang olahraga aja kali, ya.. :p. Untungnya di tengah perjalanan ada penjual jamur crispy, jadi bisa jajan, deh!

(Lumayan buat pemanasan sebelum ke Prau - foto pribadi)

(Jamur crispy-nya enaaak~ - foto pribadi)


Pagi itu Telaga Warna menampilkan warna biru dan hijau tosca yang indah. Menyenangkan banget saat ngelihatnya dari atas bukit. Spot foto favorit di sana adalah di atas Batu Ratapan Angin. Itu adalah dua batu besar yang berdampingan di atas bukit di sekitar kawasan Dieng Plateau Theater. Dari sana Telaga Warna bisa kelihatan jelas banget tanpa gangguan. Sebenarnya, sih, ada lagi spot menarik untuk berfoto di Telaga Warna, yaitu di Jembatan Merah Putih. Tapi, saya, sih, urung karena jembatannya kelihatan rapuh dan banyak orang yang berebutan berfoto di sana. Oh ya, di sini juga ada wahana flying fox, loh!

(Telaga Warna - foto pribadi)

(Di Batu Ratapan Angin - foto pribadi)

(Telaga Warna baguuss! - foto Omah Trip)

(turunnya bisa flying fox juga~ - foto Omah Trip)


Telaga Warna sendiri ada di kawasan Dieng Plateau Theater. Di kawasan ini juga ada aula tempat berbagai pertunjukan tradisional digelar. Saat kami tiba di sana, masih belum ada pertunjukan digelar. Tapi, di selasarnya ada banyak toko suvenir, mulai dari syal, topi, sweater, sampai batu akik! Oh iya, di sana juga banyak penjaja jamur crispy dan kentang goreng. Aku beli jamur crispy saat naik ke atas bukit untuk lihat Telaga Warna. Di selasar Dieng Plateau Theater, aku dan temanku, Eric, membeli kentang goreng khas Dieng sambil duduk lesehan di salah satu warung di sana. Kentang goreng di sana rasanya enak, kayak ada manis-manisnya gitu (kayak iklan, yaa~ hehhheee..).

(Kentang goreng dan jamur crispy~ Enaaak~ - foto pribadi) 


Yang menarik di Dieng Plateau Theater adalah keberadaan burung hantu yang lucu banget! Jadi, di sana ada penduduk yang memelihara burung hantu, namanya Bobo. Umurnya baru 9 bulan, jadi sebetulnya masih balita gitu. Burung hantu ini jadi objek foto yang menarik di Dieng Plateau Theater. FYI, anak pemilik burung hantu itu ada yang berambut gimbal, loh! Sayangnya, dia enggak mau difoto.. :(

(Halo, Bobo! - foto pribadi)


Kami di sana cuma sampai sebelum jam makan siang. Setelah itu, kami pergi ke basecamp di Patak Banteng sebelum mendaki ke puncak Gunung Prau. Gunung Prau adalah puncak tertinggi di Dataran Tinggi Dieng. Tingginya mencapai 2.565 mdpl. Menuju ke Gunung Prau sebenarnya bisa melewati beberapa jalur pendakian. Kalau melalui Dieng, jalurnya lumayan landai, tapi memutar. Jadi, bisa menghabiskan waktu 3—5 jam untuk sampai ke puncak. Kami mendaki dari Patak Banteng karena itu jalur yang paling pendek, meskipun jalurnya cukup sulit karena banyak bebatuan dan terjal. Kalau melewati jalur ini, kita bisa sampai ke puncak dalam waktu 2 –3 jam. Tapi, aku sendiri butuh 3,5 jam untuk sampai puncak #ups.



Sebelum mendaki, kami makan siang dulu di basecamp. Omah Trip menyediakan berbagai macam keperluan kami dengan baik. Menu makan siang kami adalah sayur labu, tempe mendoan, telur dadar, mi rebus instan, dan nasi merah! Sehat banget, ya, makan nasi merah.. hihhii..

Setelah makan siang, kami packing lagi sebelum mendaki. Kami cuma perlu bawa pakaian dan makanan secukupnya supaya tasnya enggak berat. Kalo tas berat, mendaki juga jadi lebih susah, cepat capek. Aku cuma bawa makanan ringan kayak cokelat (buat dicemilin di jalan) dan pakaian hangat plus jas hujan. Itu aja yang penting. Enggak lupa juga baju-baju di dalam tas harus dibungkus di trash bag supaya enggak basah saat hujan. Kami enggak perlu bawa tenda dan perlengkapan makan karena udah disediakan sama Omah Trip.

(Siap mendaki! - foto pribadi)


Pendakian ke puncak Gunung Prau ternyata enggak mudah, guys! Meski kami mendaki dari ketinggian sekitar 1700 mdpl, jalurnya lumayan terjal, jadi bikin cepat capek. Mendaki siang hari juga menguras tenaga karena panas. Tapi, kalau udah biasa mendaki gunung, mungkin jalur ini masih terhitung enggak terlalu sulit, ya, karena bisa ditempuh dalam waktu 2 jam aja. Tapi, buat aku yang baru pertama kali mendaki gunung, sih, cukup kewalahan.

 (Jalur pendakian yang cukup terjal - foto Omah Trip)


Mendaki Gunung Prau, kami melewati 4 pos. Jarak setiap pos enggak terlalu jauh (karena cuma 2 jam juga sampai ke puncak). Menuju ke pos 1 dari basecamp, kami menaiki tangga beton dulu, baru sampai ke jalanan yang bisa dilewati motor. Menuju ke pos 1 ini masih bisa pakai ojek, loh, guys! Tapi, kalo aku sih sayang bayar ojeknya. Huhhhuuu..

Sepanjang pos 1 sampai pos 2, kamu masih bisa nemuin warung. Banyak yang enggak bawa makan dan mampir sebentar di warung-warung ini. Aku juga sekali istirahat sebentar dan beli madu untuk menambah stamina (katanya) di salah satu warung antara pos 1 dan pos 2. Di warung-warung ini kamu juga bisa beli tongkat bambu untuk mendaki.

 
(Mampir dulu ke warung~ - foto Omah Trip)


Jalur pendakiannya sebetulnya enggak rumit karena cuma satu jalur. Insyaallah kamu enggak bakal nyasar kalau mau ke puncak Prau :p. Dari pos 1 ke pos 2, jalurnya juga masih cukup landai dan banyak perkebunan wortel yang bikin mata segar (kayaknya wortel kaalau diingat-ingat lagi). Tapi, begitu sampai pos 2 menuju pos 3, jalurnya mulai banyak yang terjal dan berpasir. Hati-hati tergelincir, ya!

(Masih landai. Pemandangan perkebunan bikin mata segar~ - foto Omah Trip)

(Mulai menanjak, nih! - foto Omah Trip)

(Pos 3 namanya Cacingan~ - foto Omah Trip)


Pemandangan yang disajikan bikin semua kelelahan terbayarkan. Tapi, kalau aku, sih, begitu sampai di pos 3 menuju pos 4, aku mulai baca istighfar karena udah tinggi banget. Aku malah takut lihat ke bawah saking tingginya (salahnya orang yang takut ketingggian adalah naik gunung).

(Berhenti lihat pemandangan dulu. - foto Omah Trip)

(Siang itu berkabut - foto Omah Trip)


Aku sampai puncak dalam waktu 3,5 jam. Kayaknya aku yang terakhir sampai, deh, karena aku memang pelan-pelan banget mendakinya. Santai banget pokoknya (santai sama males beda tipis kali, ya). Sempat kena hujan juga saat hampir sampai puncak. Untungnya hujannya enggak deras atau hujan angin gitu, jadi masih bisa mendaki santai.

Kami pasang tenda agak jauh dari tempat orang-orang biasa pasang tenda. Lokasinya di antara bukit kecil gitu, tapi dekat sama lokasi lihat sunrise.

 (Tenda kami. - foto Omah Trip)


Oh ya, ada yang bilang sunrise di Gunung Prau itu indah banget, loh. Sayangnya, kemarin cukup berkabut, jadi sunrise-nya enggak begitu kelihatan. Tapi, foto-foto dari teman-teman ini udah cukup nunjukin bahwa sunrise-nya memang kece!

(Semua lihat sunrise! - foto Omah Trip)

(Peace! - foto Omah Trip)


Kami turun gunung jam 9 dan mampir lagi di warung untuk sekadar bersenda gurau. Kami meninggalkan basecamp sekitar pukul 1 dan berakhirlah perjalanan kami di Dieng. Tapi, dalam perjalanan pulang, kami sempat mampir ke pemandian air panas di Wonosobo. Biarpun dibilang pemandian, sebetulnya itu kamar mandi bersekat yang ada air panasnya. Tapi, ada kolam air panasnya juga, sih.

Pukul 4 sore berangkat dari Wonosobo, kami tiba di Jakarta pukul 5 pagi keesokan harinya. Saat pulang, kaki pegal-pegal adalah hal yang biasa. Aku sendiri sebetulnya enggak pegal kaki, tapi harus dikerok karena masuk angin (kalau belum dikerok kayaknya belum enak).

Kalau teman-teman mau ke Dieng atau Prau, teman-teman bisa hubungi Omah Trip yang menyediakan open trip dan private trip ke Dieng dan Prau. Aku, sih, puas banget sama pelayanannya. Biarpun baru dibentuk pada Mei 2016, pelayanannya profesional banget. Semua peserta diurusin kayak keluarga. Aku yang mendaki lambat banget juga ditungguin dan didampingi terus sampai puncak, begitu pun saat turun. Pokoknya kece! Seru banget! Jadi enggak kapok naik gunung.. Hihhiii..
****


Nb: Oh, ya. sebetulnya aku sempat sakit saat di puncak (biasa, asma dan asam lambungnya naik). Jadi, saat turun, aku digendong! Thank's to Mas Juki yang udah gendong aku sampai Pos 2. Luar biasa, loh. Hero banget, deh! ><

You Might Also Like

0 comments